Sabtu, 11 Mei 2013

Memori


 

Penerbit : Gagasmedia
Tebal : 312 Halaman
Ah, Mae, dunia tidak sekelam yang kau perlihatkan kepadaku
Baru kali ini baca bukunya Windry Ramadhina. Aaakkhhhh buku ini mengingatkan saya tentang betapa pentingnya “kewarasan” orang tua dalam membentuk kepribadian anak. Anak-anak tidak bisa memilih ingin dilahirkan di keluarga mana. Orangtua lah yang harus bertanggungjawab terhadap pilihan mereka. Terhadap kehidupan manusia lain yang sudah dititipkan oleh Tuhan.
Kenapa saya jadi membahas tentang ini? Karena Mahoni, sang perempuan mudah tokoh utama dalam buku ini adalah bentuk konsekuensi dari betapa egois sang Ibu dalam mangatasi permasalahan hidupnya.
Mahoni kecil sering sekali menyaksikan Ayah dan Ibunya bertengkar. Mahoni yang sangat mengidolakan Ayahnya sangat terkejut ketika suatu hari ditodong untuk ikut Ibunya pergi dari rumah. Ibunya, Mae, adalah tipe drama queen yang selalu merasa dirinya adalah korban dengan nasib paling naas di dunia. Mahoni dibesarkan dengan hawa negatif yang menyudutkan sang Ayah yang kemudian menikah lagi dengan seorang perempuan bernama Grace. Ya, Mahoni pun tumbuh besar membenci Ayahnya.
Mahoni tumbuh menjadi perempuan muda yang keras dan engga membagi perasaannya. Kuliah di jurusan arsitektur membuatnya dekat dengan si jenius berandal Simon. Tidak bisa disangkal bahwa Mahoni dan Simon menyimpan perasaan satu sama lain. Namun di saat kelulusan, ketika Simon akan memintanya untuk selangkah lebih serius, Mahoni takut benteng yang sudah dibangunnya runtuh. Ia pun lari dan memilih untuk menyisihkan perasaannya.
Mahoni pun hijrah ke Virginia, bekerja di suatu biro arsitek disana dan cukup sukses dalam karirnya. Mahoni seolah ingin melupakan kehidupannya yang dulu. Ayahnya yang telah berhianat, Ibunya yang telah mengukung dirinya dalam drama pribadinya.
Ketika sebuah pesan telepon memberitahukan bahwa Ayahnya dan Grace telah meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Mahoni pun tidak punya pilihan lain, ia harus pulang dan menghadapi kehampaannya mendengar bahwa Ayahnya telah meninggal dunia.
Di Jakarta ia mendapati kenyataan bahwa ia harus bertanggungjawab atas adik lelaki tirinya, Sigi yang masih duduk di kelas satu sma. Mahoni tiba2 saja harus melepas kehidupannya di Virgina. Rela? Tentu tidak, pada awalnya Mahoni menjalani semua tanpa niat. Sikap Sigi lah yang kemudian meluluhkan keras hati Mahoni.
Di sisi lain, Mahoni kembali bertemu dengan Simon. Bahkan ikut membantu sebagai arsitek free lance di perusahaan Simon. Namun kali ini di sisi Simon sudah ada seorang perempuan cantik bernama Sofia. Mereka kuliah bersama dan kemudian mendirikan perusahaan bersama pula. Mahoni tidak bisa menyangkal bahwa masih tersisa rasa untuk Simon, namun sanggupkah Mahoni menjadi sosok yang sangat ia benci. Grace yang telah merebut papanya.
Baca cerita ini saya jadi pengen punya rumah sendiri yang dindingnya dipenuhi sama rak buku. Windry menggambarkan detail arsitektur sebuah bangunan dengan sangat baik hingga seolah-olah kita bisa melihatnya. Bahasanya juga ringan mengalir, tidak berat dan tidak ada adegan yang terlalu dramatis.
Pasti para cewe2 akan kesengsem sama sosok Sigi yang manis dan cool. Hehe. Saya ngebayanginnya kayak cowo2 di film korea yang ngga banyak omong tapi sweet. Kalo Simon mah kayak cowo2 di film Indonesia yang agak2 jutek gimana tapi tetep aja bikin cewe2 suka.
Buku simple yang ringan dan enak buat dibaca!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar